Oleh: Fadil Muhammad )*
Tanggal 20 Mei yang seharusnya menjadi momentum reflektif peringatan Hari Reformasi, justru terancam disusupi agenda-agenda aksi jalanan yang dikhawatirkan dapat menggoyahkan stabilitas nasional. Rencana demonstrasi yang digaungkan sejumlah kelompok, termasuk mahasiswa, menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan karena berpotensi memunculkan gejolak sosial di tengah transisi awal pemerintahan baru.
Mantan Komandan Relawan Tim Nasional Pemenangan Prabowo-Gibran, Haris Rusly Moti, mengingatkan bahwa dinamika aksi protes mahasiswa yang marak belakangan ini sangat rawan ditunggangi oleh kekuatan asing. Menurut Haris, kekuatan-kekuatan luar negeri bisa saja menyusupkan agenda geopolitik terselubung dalam bentuk provokasi sosial melalui media sosial maupun propaganda opini. Ia menilai, situasi yang tengah stabil ini justru menjadi sasaran empuk pihak-pihak yang tidak menginginkan Indonesia berdiri kuat di atas kaki sendiri.
Haris menekankan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto telah mengambil langkah-langkah penting untuk memperkuat kedaulatan ekonomi nasional. Kebijakan-kebijakan seperti keanggotaan Indonesia dalam forum ekonomi global BRICS, pembentukan Danantara dan Bank Emas, hingga aturan baru terkait penempatan devisa hasil ekspor di dalam negeri, dinilainya sebagai bukti bahwa arah ekonomi Indonesia kini berpihak pada kepentingan nasional. Namun, ia juga mencermati bahwa sejumlah kebijakan ini tidak sejalan dengan kepentingan kelompok-kelompok lama yang terbiasa diuntungkan oleh sistem sebelumnya.
Dalam pandangannya, beberapa aksi mahasiswa muncul akibat kesalahpahaman terhadap kebijakan strategis pemerintah. Ia menyebutkan bahwa isu seperti efisiensi anggaran atau pengelolaan utang luar negeri memang penting, tetapi bisa disalahgunakan oleh pihak yang ingin memperkeruh situasi. Menurutnya, wacana semacam itu sering kali dibumbui oleh framing yang tidak objektif, bahkan cenderung provokatif.
Lebih lanjut, Haris menilai bahwa narasi-narasi gelap tentang Indonesia yang tengah beredar adalah bagian dari upaya menciptakan keretakan sosial dan membentuk persepsi keliru publik terhadap pemerintahan. Oleh karena itu, ia menyerukan agar masyarakat lebih bijak dalam mencerna informasi dan tidak serta-merta terprovokasi oleh ajakan turun ke jalan yang tidak berdasar pada fakta menyeluruh.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Ia menyayangkan beredarnya klaim bahwa Indonesia sedang mengalami “kegelapan” atau krisis multidimensi, padahal kenyataannya pemerintah terus bekerja menjawab berbagai tantangan yang ada. Prasetyo menilai narasi semacam itu sangat tidak mencerminkan realita dan hanya akan menciptakan keresahan sosial yang tidak perlu.
Ia menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran baru berjalan beberapa bulan dan masih dalam tahap konsolidasi serta pembenahan. Dalam konteks ini, masyarakat diharapkan dapat memberikan waktu dan ruang bagi pemerintah untuk menjalankan agenda-agenda pembangunan. Seruan untuk tetap menjaga optimisme dan kesatuan pun menjadi penekanan dari Prasetyo, yang menilai bahwa bangsa ini berada dalam satu perahu dan harus saling mendukung.
Di sisi lain, Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal mengingatkan bahwa tuntutan publik tidak pernah diabaikan. Ia menyebut bahwa isu-isu yang sebelumnya disuarakan dalam gerakan “Indonesia Gelap Jilid 1” telah mendapat perhatian pemerintah dan ditindaklanjuti melalui berbagai program nyata. Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terseret dalam narasi provokatif yang berpotensi merusak tatanan demokrasi.
Menurut Cucun, demokrasi sejati bukanlah ajang untuk melampiaskan kemarahan tanpa solusi, melainkan wadah untuk menyampaikan aspirasi secara konstruktif. Ia menekankan bahwa aksi demonstrasi yang melanggar aturan dan menyulut konflik sosial justru akan mencederai demokrasi itu sendiri.
Pentingnya menjaga harmoni sosial di tengah perbedaan pandangan menjadi poin penting dalam menjaga keberlanjutan demokrasi. Ketika ajakan aksi 20 Mei dikemas dalam balutan narasi perlawanan yang tendensius, masyarakat perlu mencermati dengan lebih kritis. Gerakan semacam itu sangat mungkin kehilangan legitimasi moral jika tidak disertai data dan analisis yang komprehensif.
Aksi massa yang tidak dikelola dengan bijak berpotensi melahirkan polarisasi dan konflik horizontal. Padahal, pemerintah saat ini tengah mengupayakan berbagai reformasi struktural mulai dari birokrasi, pembangunan infrastruktur, hingga penguatan ekonomi kerakyatan. Program-program tersebut membutuhkan dukungan situasi sosial-politik yang kondusif agar dapat berjalan optimal dan memberi hasil nyata bagi masyarakat.
Penyampaian kritik tentu sah dalam sistem demokrasi, namun harus dilakukan dalam ruang yang sehat dan bertanggung jawab. Ketika demonstrasi dijadikan alat tekanan tanpa solusi, maka demokrasi kehilangan makna sejatinya sebagai dialog dua arah antara rakyat dan pemerintah.
Di tengah derasnya arus informasi digital, masyarakat dituntut memiliki literasi informasi yang tinggi. Tidak semua narasi yang viral mencerminkan kebenaran, dan tidak semua kritik yang keras memiliki dasar analisis yang valid. Oleh karena itu, penting untuk memilah informasi dengan bijak dan tidak larut dalam emosi sesaat.
Sebagai bangsa yang telah melalui berbagai krisis dan konflik, Indonesia perlu terus memupuk kedewasaan dalam berdemokrasi. Jalur dialog, konsultasi, dan partisipasi melalui forum-forum resmi perlu dikedepankan ketimbang mobilisasi massa yang rawan dimanfaatkan oleh pihak-pihak oportunis.
Menolak aksi 20 Mei bukanlah bentuk anti-demokrasi, melainkan pilihan sadar untuk menjaga sistem demokrasi itu tetap sehat dan bertanggung jawab. Ketika keamanan nasional dipertaruhkan demi kepentingan aksi sesaat, maka yang dirugikan adalah seluruh lapisan masyarakat. Stabilitas adalah prasyarat utama bagi pembangunan yang berkelanjutan, dan dalam situasi seperti sekarang, menjaga stabilitas berarti menjaga masa depan bangsa.
Indonesia tidak boleh kembali terperosok dalam konflik internal yang justru merugikan proses reformasi itu sendiri. Justru pada Hari Reformasi, masyarakat diajak untuk memperkuat semangat persatuan dan membangun perubahan melalui kerja sama, bukan konfrontasi. Kedamaian bukanlah antitesis dari perubahan, tetapi fondasinya. Dengan menolak provokasi aksi 20 Mei, kita sedang memilih jalan rasional dan bertanggung jawab demi Indonesia yang lebih kuat dan bersatu.
*) Pengamat Politik Nasional – Forum Politik Mandala Raya