Oleh Manihota Loka )*
Pemerintah Indonesia terus menggencarkan program strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia menuju visi Indonesia Emas 2045. Salah satu langkah konkret yang kini menjadi perhatian nasional adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah inisiatif yang bertujuan untuk menekan angka stunting dan memperkuat ketahanan gizi nasional, terutama bagi kelompok rentan seperti anak usia dini, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Program ini tidak hanya menjadi bentuk kepedulian negara terhadap generasi masa depan, tetapi juga sebuah investasi jangka panjang yang akan menentukan daya saing bangsa di masa mendatang.
Program MBG dirancang dengan pendekatan komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pemenuhan gizi masyarakat, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif masyarakat melalui penguatan ekonomi lokal. Salah satu aspek penting dari program ini adalah keterlibatan petani lokal dalam penyediaan bahan pangan. Dengan memprioritaskan produk pertanian dari daerah setempat, program ini mendorong roda ekonomi masyarakat bawah, menciptakan pasar baru bagi hasil tani lokal, dan memacu produksi pangan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Anggota Komisi IX DPR RI, Obet Rumbruren, menegaskan bahwa Program MBG merupakan bagian dari strategi besar pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara merata. Menurutnya, pemenuhan gizi yang layak dan setara merupakan hak seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dijamin oleh undang-undang. Obet menyebut, khususnya untuk wilayah Papua Barat, kehadiran program ini sangat penting agar masyarakat setempat dapat menikmati hak dasar mereka dalam memperoleh makanan bergizi, tanpa terkendala kondisi geografis atau ekonomi.
Selaras dengan pernyataan tersebut, Anggota DPRD Kabupaten Manokwari, Yusak Yusanto Sayori, juga mengungkapkan harapannya terhadap pelaksanaan Program MBG, khususnya di daerah pinggiran kota seperti Distrik Masni. Ia menilai bahwa MBG dapat menjadi solusi nyata untuk mengatasi persoalan gizi, terutama di kawasan dengan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan pangan bergizi. Yusak juga menekankan pentingnya agar bahan makanan yang digunakan dalam program ini berasal dari petani lokal, sehingga ada efek ganda yang dirasakan masyarakat, baik dari segi kesehatan maupun kesejahteraan ekonomi.
Dalam hal pelaksanaan teknis, BGN telah menyiapkan model dapur layanan gizi yang dinamakan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Tiga jenis dapur disiapkan untuk mendukung jalannya program, yaitu Dapur Mandiri yang dibangun oleh masyarakat atau swasta, Dapur Mitra hasil kerja sama BGN dan pemerintah daerah, serta Dapur BGN yang dibangun dan dioperasikan langsung oleh badan tersebut. Masing-masing dapur ini dirancang mampu melayani hingga 3.500 penerima manfaat per hari, dengan pengelolaan profesional oleh tenaga inti seperti ahli gizi, kepala dapur, dan akuntan yang didukung relawan lokal.
Penerapan konsep dapur berbasis komunitas ini sangat penting untuk memastikan keberlangsungan program sekaligus menciptakan keterlibatan aktif dari masyarakat sekitar. SPPG tidak hanya berfungsi sebagai pusat distribusi makanan, tetapi juga menjadi ruang edukasi gizi dan pusat pemberdayaan ekonomi lokal. Dengan demikian, manfaat MBG tidak hanya dirasakan oleh penerima makanan bergizi, tetapi juga oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terlibat dalam rantai pasok pangan.
Di wilayah Jawa Timur, program ini juga mulai menunjukkan hasil positif. Anggota Komisi IX DPR RI, Heru Tjahjono, menjelaskan bahwa pemberian asupan bergizi secara rutin kepada anak-anak usia dini merupakan solusi konkret untuk menekan kasus kekurangan gizi di daerah tersebut. Ia menekankan bahwa nutrisi seimbang tidak hanya berdampak pada pertumbuhan fisik anak, tetapi juga sangat menentukan perkembangan otak dan kecerdasan mereka.
Deputi Pemantauan dan Pengawasan BGN, Meida Octarina, turut menambahkan bahwa program MBG mendukung penuh pencapaian visi Indonesia Emas 2045 dengan cara yang berkelanjutan. Selain memenuhi kebutuhan gizi peserta didik dan masyarakat, program ini secara simultan juga menciptakan lapangan kerja baru. Di Kabupaten Tulungagung, misalnya, masih diperlukan sekitar 50 SPPG tambahan untuk bisa melayani lebih dari 170 ribu peserta didik. Ini menunjukkan besarnya peluang ekonomi yang tercipta dari implementasi program tersebut.
Makanan yang disajikan dalam Program MBG telah memenuhi standar gizi seimbang yang disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak dan ibu hamil. Kolaborasi erat antara BGN, institusi layanan kesehatan, dan komunitas lokal memastikan bahwa makanan yang diterima tidak hanya layak konsumsi, tetapi benar-benar mampu memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak.
Melalui pelaksanaan Program MBG yang sistematis dan melibatkan multi pihak, Indonesia sedang menunjukkan keseriusannya dalam menurunkan angka stunting dan meningkatkan kualitas SDM nasional. Keberhasilan program ini tidak hanya ditentukan oleh alokasi anggaran atau logistik, melainkan juga oleh sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku ekonomi lokal.
Keterlibatan petani dalam rantai pasok pangan, partisipasi aktif UMKM, dan kehadiran dapur-dapur layanan gizi di tengah masyarakat menjadi bukti bahwa program ini dibangun dengan pendekatan inklusif. Dengan strategi seperti ini, MBG bukan hanya tentang memberi makan secara gratis, tetapi tentang menciptakan masa depan yang lebih sehat, cerdas, dan berdaya. Jika dijalankan secara konsisten, program ini akan menjadi tonggak penting dalam perjalanan bangsa menuju Indonesia Emas 2045.
)* penulis merupakan pengamat kebijakan pangan